Mengapa Sensor SAR Merekam dari Arah Samping?

Tidak seperti sensor optik (Landsat, Sentinel-2, QuickBird, WorldView, GeoEye, dsb) yang pada umumnya merekam permukaan bumi secara tegak (nadir looking), sensor Synthetic Aperture Radar (SAR) pada umumnya merekam permukaan bumi pada posisi miring. Sistem ini dikenal sebagai side looking atau pandangan samping. Khusus untuk sensor SAR yang dipasang pada pesawat udara, sistem ini dikenal sebagai Side Looking Airborne Radars (SLAR).

Gambar 1. Sensor optik seperti Sentinel-2 MSI merekam dengan pandangan tegak (nadir looking) (Sumber: https://www.airbus.com/)

Memang tidak semua sensor radar merekam side looking, ada juga sensor radar yang merekam nadir looking. Sebagaimana sensor optik ada juga yang side looking bahkan multi looking. Akan tetapi, yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah khusus sensor radar yang side looking. Sebab platform SAR pada umumnya side looking.

Hal pertama yang harus difahami adalah, meskipun sensor SAR merekam dari pandangan samping atau side looking, bukan berarti citra yang dihasilkan adalah citra objek dari samping, seperti ketika kita memotret pohon atau bangunan gedung dari samping. Sama sekali jangan dibayangkan seperti itu. Geometri citra SAR yang dihasilkan nantinya tetap akan tegak sebagaimana citra optik nadir looking.

Lalu mengapa sensor SAR harus side looking?

Radar atau SAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif, yang artinya sensor SAR menembakkan sendiri gelombang elektromagnetik berupa gelombang mikro (microwave) ke permukaan bumi. Ketika gelombang yang ditembakkan sensor SAR ini mengenai objek di permukaan bumi, gelombang akan “dihamburbalikkan” (backscattering) oleh objek permukaan bumi. Dan hamburan baliknya (backscatter) akan tertangkap oleh sensor SAR. Perhatikan Gambar 2 dan Gambar 4.

Gambar 2. Sensor SAR merekam dengan pandangan samping (side looking)

Sistem SAR bekerja menggunakan prinsip Efek Doppler (Doppler Effect). Apa itu Efek Doppler? Sepertinya ini mengulang kembali pelajaran Fisika waktu masih sekolah. Silahkan tonton sendiri penjelasan tentang Efek Doppler di video YouTube ini https://www.youtube.com/watch?v=ql2Y-3hOfGY. SAR menggunakan interval waktu (time delay) hamburan balik dari objek permukaan bumi dalam pembentukan resolusi spasial atau pixel citra. Sehingga, agar pixel citra dapat terbentuk, hamburan balik dari objek yang tertangkap oleh sensor SAR harus berbeda waktunya antar objek. Jika hamburan balik dari sejumlah objek mencapai sensor pada waktu yang sama persis, maka sensor SAR akan “kebingungan” membedakan hamburan balik antar objek tersebut. Dan resolusi spasial tidak dapat dibentuk.

Itu seperti ketika kita berbicara dengan orang lain, maka setiap kata yang keluar dari mulut kita harus berbeda waktunya antar kata. Coba bayangkan, kita berbicara dengan orang lain, tetapi semua kata-kata yang mau kita sampaikan ke orang tersebut terucap pada waktu yang bersamaan. Misalnya pada saat berbicara kita mengucapkan 1.000 kata, semuanya diucapkan sekaligus dalam waktu kurang dari satu detik. Kira-kira apa yang akan didengar oleh lawan bicara kita? Tentu saja hanya dengungan atau noise yang tidak jelas, dan tidak ada informasi yang dapat ditangkap oleh lawan bicara.

Sensor SAR memancarkan gelombang elektromagnetik, yang kecepatannya setara dengan kecepatan cahaya, yaitu sekitar 300.000.000 meter per detik. Hamburan balik (backscatter) dari objek ke sensor SAR kecepatannya juga sama. Agar hamburan balik antar objek dapat mencapai sensor SAR pada waktu yang berbeda, maka sensor SAR memancarkan (transmitting) gelombang elektromagnetik tidak secara kontinyu sepanjang jalur terbang platform (misal: satelit), melainkan dalam bentuk pulses atau short bursts (ledakan-ledakan dengan interval yang pendek) (Richards, 2009). Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Hal ini untuk menghasilkan pemisahan spasial (spatial dicrimination) hamburan balik objek-objek permukaan bumi sepanjang jalur terbang platform (across swath) (Richards, 2009).

Dengan mekanisme short bursts seperti ini, maka secara teoritis pixel-pixel citra sepanjang jalur terbang (dikenal sebagai along track direction atau across swath direction) dapat dibentuk. Hal ini disebabkan karena adanya interval waktu antara satu burst ke burst berikutnya dalam jalur terbang. Untuk memperlebar swath (medan pandang sensor), beberapa sensor SAR melakukan bursting beberapa kali ke arah swath. Sehingga akan terbentuk beberapa sub swath dalam satu track. Sistem SAR yang seperti ini dikenal sebagai Terrain Observation with Progressive Scans SAR (TOPSAR). Sensor TOPSAR ini berbeda dengan sensor konvensional ScanSAR. Contoh TOPSAR adalah Sentinel-1 SAR milik European Space Agency (ESA), contoh ScanSAR adalah ALOS-PALSAR milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).

Gambar 3. Sentinel-1 TOPSAR (Sumber: http://project.i-react.eu/european-satellite-protect-us/)

Untuk pembentukan citra sepanjang jalur terbang, masalah interval waktu yang diperlukan dalam pembentukan citra terselesaikan dengan teknik short bursts. Akan tetapi, citra SAR yang ingin dihasilkan tidak hanya berbentuk satu garis sepanjang jalur terbang. Citra penginderaan jauh tentunya berwujud suatu bidang dua dimensi, ada baris-baris pixel dan ada kolom-kolom pixel. Masalah interval waktu menjadi isu penting pada saat pembentukan citra pada arah tegak lurus jalur terbang (dikenal sebagai along swath direction atau across track direction). Perhatikan Gambar 4.


Gambar 4. Teknik pembentukan citra pada sensor SAR

Pada Gambar 4 (1), jika sensor SAR merekam pada arah tegak (nadir looking), maka pada arah swath (along swath), pixel atau citra tidak dapat terbentuk. Sebab hamburan balik dari objek pohon A dan pohon B yang berada di bawah sensor akan mencapai sensor SAR pada waktu (rr) yang relatif bersamaan. Akan tetapi pada Gambar 4 (2), jika sensor SAR merekam pada arah samping (side looking), maka akan ada interval atau selisih waktu (rr) pemancaran gelombang (transmit) yang mengenai pohon A dan pohon B, dan akan ada interval waktu antara hamburan balik (backscatter) dari pohon A dan pohon B.

Logikanya, kalau SAR menembak dan merekam dari arah samping, maka pohon B yang lebih jauh dari sensor SAR dibanding pohon A, akan lebih lambat “terkena tembakan” dari sensor SAR. Otomatis pohon B akan lebih lambat juga dalam “memantulkan tembakan” kembali ke sensor SAR. Interval waktu atau time delay ini akan digunakan oleh sensor SAR untuk membedakan hamburan balik antara pohon A dan pohon B. Itu sebabnya sensor SAR harus merekam dengan pandangan samping atau dari arah miring (slant). Sebab kalau merekam dari arah tegak, maka pixel atau citra pada arah swath tidak dapat terbentuk.

Sebuah ilustrasi yang sangat menarik dapat Anda tonton sendiri di video YouTube ini https://www.youtube.com/watch?v=g-YICKbcC-A.

Pada Gambar 4 (2) di atas, rr dikenal sebagai slant resolution atau resolusi miring. Dimana slant resolution terbentuk dari interval waktu hamburan balik sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Sementara rg adalah ground resolution atau resolusi spasial objek pada bidang datar sebagaimana citra penginderaan jauh pada umumnya. Pada saat perekaman sensor SAR, yang terbentuk adalah slant resolution, tetapi pada saat kita menganalisis citra SAR kita akan mengkonversi slant resolution menjadi ground resolution.

Ketika sensor SAR membentuk citra (slant resolution), maka hamburan balik yang lebih dulu mencapai sensor SAR akan terbentuk pixel citra lebih dulu. Sementara hamburan balik yang mencapai sensor SAR belakangan, akan terbentuk pixel citra belakangan juga. Hal ini menjelaskan mengapa pada perekaman descending mode (satelit terbang dari Utara ke Selatan), citra SAR seperti Sentinel-1 posisi wilayahnya terbalik antara kanan dan kiri, dengan kata lain tertukar antara Barat dan Timur. Hal ini karena Sentinel-1 adalah sistem right looking (pandangan ke kanan).

Gambar 5. Ilustrasi mengapa Sentinel-1 (descending mode) Slant Image posisi wilayahnya terbalik

Ketika Sentinel-1 merekam pada descending mode di atas wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) misalnya, maka posisi track (jalur) satelit Sentinel-1 akan berada di sebelah Timur atau kanan wilayah Kalsel. Posisi Sentinel-1 kira-kira berada di atas Selat Makassar. Dengan bergerak dari Utara ke Selatan, Sentinel-1 akan “menembak” wilayah Kalsel ke arah kanan. Otomatis wilayah Timur Kalsel akan berada lebih dekat ke sensor Sentinel-1 (near range), sehingga wilayah Timur Kalsel seperti Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu akan terbentuk citra lebih dulu. Sementara wilayah Barat Kalsel seperti Banjarmasin (far range) akan terbentuk citra belakangan. Akibatnya, citra Kalsel (slant image) akan terbalik. Kotabaru dan Tanah Bumbu seolah-olah pindah ke sebelah Barat Kalsel, sementara Banjarmasin seolah-olah pindah ke sebelah Timur Kalsel (lihat Gambar 5). Tentu saja, dalam analisis citra, citra SAR yang terbalik seperti ini harus dikoreksi terlebih dahulu. Dengan kata lain, slant image harus dikonversi menjadi ground image. Biasanya metode koreksinya menggunakan Range Doppler Terrain Correction (RDTC).

Posisi citra SAR terbalik seperti ini tidak akan terjadi ketika Sentinel-1 merekam dengan ascending mode (satelit terbang dari Selatan ke Utara). Sebab ketika ascending mode, posisi track Sentinel-1 akan berada di sebelah kiri atau Barat wilayah yang di rekam. Akibatnya, wilayah Barat akan membentuk citra lebih dulu.

Sebagai konsekuensi dari mekanisme pandangan samping atau side looking pada citra SAR, maka citra SAR akan mengalami tiga distorsi geometrik. Yaitu foreshortening, layover, dan shadow. Lihat Gambar 6.

Gambar 6. Distorsi geometrik pada citra SAR (Sumber: Meyer, 2019)

Foreshortening adalah pemendekan lereng bukit/gunung yang menghadap sensor SAR, layover adalah terbaliknya citra pada lereng bukit/gunung yang sangat curam (posisi kaki bukit/gunung akan tertukar dengan puncaknya), sementara shadow adalah bayangan yang terbentuk pada lereng bukit/gunung yang membelakangi sensor.

Kalau distorsi shadow atau bayangan mungkin akan mudah untuk difahami. Sebab bagian lereng bukit/gunung yang membelakangi sensor sudah pasti tidak akan “tertembak” oleh gelombang elektromagnetik dari sensor SAR. Sehingga tidak akan ada hamburan balik dari lereng bukit/gunung ini. Akan tetapi, untuk pemendekan lereng yang menghadap sensor (foreshortening) dan terbaliknya citra pada lereng curam (layover) penjelasannya seperti apa?

Penjelasannya lihat kembali Gambar 4, beserta penjelasan di bawah Gambar 4 yang diberi highlight biru. Lereng bukit/gunung yang menghadap sensor akan mengalami “kehilangan” beberapa pixel. Hal ini disebabkan ketika lereng menghadap sensor, maka interval waktu hamburan balik akan semakin mendekati nol, atau bahkan nol kalau lerengnya persis menghadap sensor SAR secara tegak lurus. Akibatnya beberapa pixel citra tidak terbentuk. Karena beberapa pixel “hilang” atau gagal terbentuk, maka lereng yang menghadap ke sensor SAR seolah-olah menjadi memendek dari yang seharusnya.

Sementara pada kasus layover, ini terjadi ketika puncak bukit yang secara horisontal berada lebih jauh dari sensor SAR dibanding kaki bukitnya sendiri, akan tetapi karena lerengnya sangat curam sehingga secara vertikal puncak bukitnya lebih dekat ke sensor SAR dibanding kaki bukitnya. Sehingga citra atau pixel puncak bukit akan terbentuk lebih dulu dibanding kaki bukitnya sendiri. Perhatikan ilustrasi pada Gambar 6 di atas.

Foreshortening dan layover dapat diminimalisir dengan memperbesar look angle. Akan tetapi, memperbesar look angle konsekuensinya akan memperbesar shadow (Richards, 2009). Look angle atau sudut pandang adalah sudut yang terbentuk antara arah pandang sensor SAR dengan titik nadir (lihat Gambar 7).

Konsekuensi lain dari side looking adalah, semakin jauh objek dari sensor SAR (far range) maka geometri objek akan semakin akurat, dan semakin dekat objek dengan sensor SAR (near range) maka geometri objek akan semakin tidak akurat (Richards, 2009). Kondisi ini berkebalikan dengan citra optik, dimana pada citra optik, semakin dekat objek dengan sensor (tepat di bawah sensor) maka geometri objek akan semakin akurat. Sementara pada citra optik, semakin jauh objek dari posisi sensor, objek cenderung akan mengalami relief displacement.

Gambar 7. Side Looking Airborne Radars (SLAR) (Sumber: https://www.researchgate.net/figure/Side-looking-airborne-radar-1_fig1_323726324)

Karakteristik sistem radar yang tidak dapat merekam pada posisi nadir, atau mengalami foreshortening pada lereng yang menghadap sensor, dimanfaatkan oleh teknologi militer sebagai “celah” untuk mengembangkan The Fifth Generation Stealth Fighter Aircraft, atau pesawat tempur siluman generasi ke lima. Pesawat tempur siluman seperti Lockheed Martin F-22 Raptor memiliki bentuk badan (shape) yang unik, tidak membulat sebagaimana badan pesawat pada umumnya. Bentuk badan pesawat seperti F-22 Raptor ini kemudian juga diadopsi oleh pesawat-pesawat tempur siluman lainnya, seperti Lockheed Martin F-35 Lightning II, Sukhoi Su-57 Felon, Chengdu J-20, TAI TF-X, KFX/IFX, dan sebagainya. Coba Anda googling pesawat-pesawat yang disebutkan ini, mereka memiliki kemiripan bentuk badan.

Gambar 8. Tampak depan pesawat tempur siluman generasi ke lima F-22 Raptor (Sumber: Eric Newton Photography, https://www.flickr.com/photos/eric_n/4616359689)

Bentuk badan pesawat siluman seperti itu didesain sedemikian rupa. Tujuannya adalah agar pesawat sulit dideteksi radar atau bahkan tidak dapat terdeteksi radar sama sekali. Mengapa? Lihat sisi samping pesawat F-22 Raptor pada Gambar 8 di atas. Kalau ada radar musuh yang dipasang di permukaan bumi, ada kemungkinan sisi samping pesawat F-22 Raptor akan berhadapan tegak lurus dengan radar. Sehingga pixel atau citra tidak dapat terbentuk, persis ketika sensor SAR merekam nadir looking (lihat Gambar 4 (1)). Sehingga ketika gelombang radar musuh mengenai sisi samping pesawat F-22 Raptor, interval waktu atau time delay-nya nol. Dengan kata lain, pesawat tidak terlihat di radar musuh. Atau kalau pun terlihat, minimal “foreshortening” alias mengecil dan menjadi sulit dibedakan dengan objek terbang lainnya. Tentu saja, bentuk badan pesawat bukan satu-satunya syarat agar pesawat seperti F-22 Raptor dapat bersembunyi dari radar. Tetapi juga pelindung atau cat pesawatnya yang menggunakan material khusus penyerap gelombang radar.

Referensi

  • Meyer, F., 2019, Spaceborne Synthetic Aperture Radar: Principles, Data Access, and Basic Processing Techniques, In The SAR Handbook: Comprehensive Methodologies for Forest Monitoring and Biomass Estimation, SERVIR Global Science, Huntsville.
  • Richards, J. A., 2009, Remote Sensing with Imaging Radar, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *