Memantau Muara Barito

Sungai Barito merupakan urat nadi Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sejak dahulu, sungai ini sudah dijadikan sebagai sarana transportasi masyarakat hingga ke pedalaman Pulau Kalimantan. Sayangnya, kondisi alurnya dari tahun ke tahun terasa semakin memprihatinkan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi lahan di sepanjang aliran sungai ini, khususnya di bagian hulunya.

Ketika kami menganalisis secara visual citra satelit terbaru, yakni Citra Sentinel 2B MSI perekaman tanggal 20 Februari 2019, kami cukup terkejut ketika memperhatikan ke bagian muara Sungai Barito. Akumulasi muatan suspensi (lumpur) yang terlihat di muara Sungai Barito tampak lebih pekat dari biasanya. Bahkan, sebelumnya kami belum pernah melihat kondisi seperti ini di muara Barito (melalui citra satelit). Sehingga kami pun tertarik untuk menganalisis dan memantau lebih jauh dinamika muatan suspensi muara Sungai Barito dari waktu ke waktu.

Pengamatan kami mulai dari citra tahun 2013, hingga tahun 2019. Dari tahun 2013 hingga 2015 kami menggunakan Citra Landsat 8 OLI (resolusi spasial 30 meter). Sementara tahun 2016 hingga 2019 kami menggunakan Citra “satelit kembar” Sentinel 2A/2B (resolusi spasial 10 meter). Hal ini dikarenakan Satelit Sentinel 2A sendiri baru mengorbit pada tahun 2015, dan Satelit Sentinel 2B baru mengorbit pada tahun 2017.


Citra Landsat 8 OLI komposit warna sejati perekaman tanggal 25 Mei 2013

Citra Landsat 8 OLI komposit warna sejati perekaman tanggal 10 April 2014

Citra Landsat 8 OLI komposit warna sejati perekaman tanggal 2 Juli 2015

Citra Sentinel 2A komposit warna sejati perekaman tanggal 11 April 2016

Citra Sentinel 2A MSI komposit warna sejati perekaman tanggal 16 April 2017

Citra Sentinel 2B MSI komposit warna sejati perekaman tanggal 6 Mei 2018

Citra Sentinel 2B MSI komposit warna sejati perekaman tanggal 20 Februari 2019

Berdasarkan hasil observasi secara visual dari citra satelit selama 7 tahun terakhir, terlihat dengan jelas bahwa kondisi terakhir muara Sungai Barito, yakni pada tahun 2019 ini, merupakan kondisi yang terparah.

Selanjutnya, kami mencoba mengestimasi distribusi muatan suspensi muara Sungai Barito, menggunakan metode yang dikembangkan oleh Liu et. al. (2017). Hasilnya dapat dilihat pada gambar di bawah:

Hasil Estimasi Muatan Suspensi Muara Sungai Barito Pada Tanggal 20 Februari 2019
Jam 02:27:29 GMT (10:27:29 WITA)

Dikarenakan pemrosesannya yang memakan waktu yang cukup lama, maka untuk saat ini kami baru memproses estimasi muatan suspensi untuk tahun terakhir (20 Februari 2019), yang merupakan akumulasi muatan suspensi terparah menurut observasi kami via citra satelit.

Kenampakan Akumulasi Material Lumpur Muara Sungai Barito Pada Citra Sentinel 2B MSI Perekaman Tanggal 20 Februari 2019 Jam 10:27:29 WITA (Resolusi Spasial 10 meter)

Lumpur muara Barito pada tanggal 20 Februari 2019 terlihat sangat pekat. Jika diamati dari jarak dekat (full resolution 10 m), terlihat bahwa akumulasi lumpur di muara Sungai Barito seolah-olah membentuk pulau/delta. Ukurannya kira-kira seukuran Pulau Kembang. Kami mencoba menginvestigasi lebih jauh akumulasi lumpur ini menggunakan metode transformasi Normalized Difference Water Index (NDWI) (Xu, 2006) dan Urban Index (UI) (Kawamura et. al., 1996).

NDWI mampu memisahkan antara fitur air terbuka atau air dalam (open water features) dari fitur-fitur selainnya, seperti lahan terbuka, bangunan, vegetasi, dan sebagainya. Sementara UI mampu memisahkan fitur urban (bangunan dan lahan terbuka) dari fitur-fitur selainnya.


Investigasi Akumulasi Lumpur di Muara Sungai Barito

Dari citra hasil transformasi NDWI, terlihat bahwa salah satu akumulasi lumpur tidak terdeteksi sebagai fitur air terbuka, sebagaimana terlihat pada gambar di atas. Sehingga objek ini dapat diterjemahkan sebagai lahan terbuka, vegetasi, bangunan, rawa yang dangkal, dan objek lainnya selain air dalam. Akan tetapi, karena tidak mungkin ada bangunan dan vegetasi di sana, maka kesimpulan yang masuk akal berdasarkan penafsiran citra NDWI adalah lahan terbuka atau rawa yang dangkal.

Jika pada citra NDWI, salah satu akumulasi lumpur tersebut terdeteksi sebagai lahan terbuka atau rawa yang dangkal, maka lain halnya dengan citra hasil UI. Citra UI justru tidak mendeteksi objek itu sebagai lahan terbuka. Hal ini dapat terjadi pada tanah rawa atau tanah terbuka yang sangat lembab. Sehingga kesimpulan yang paling masuk akal dari penggabungan NDWI dan UI adalah, bahwa objek tersebut kemungkinan adalah tanah terbuka, atau tanah rawa (artinya permukaan tanahnya berada beberapa cm di bawah permukaan air), atau bisa jadi lumpur yang mengapung dengan massa yang sangat besar. Tentu saja untuk memastikannya diperlukan verifikasi langsung di lapangan.

Demikian laporan kami untuk sementara ini. PPIDS ULM akan berusaha untuk terus memantau perkembangan muara Sungai Barito ini, dan akan mempublikasikan informasi perkembangannya. Agar pihak-pihak terkait, baik pemerintah, peneliti, pemerhati lingkungan, maupun masyarakat, dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Untuk membaca lanjutannya silahkan klik di sini.

Referensi

  • Kawamura, M., Jayamana, S., Tsujiko, Y.. 1996. Relation between social and environmental conditions in Colombo Sri Lanka and the urban index estimated by satellite remote sensing data. Int. Arch. Photogrametric Remote Sensing, 1996, 31 Pt B7, pp. 321–326.
  • Liu, H., Li, Q., Shi, T., Hu, S., Wu, G., and Zhou, Q.. 2017. Application of Sentinel 2 MSI Images to Retrieve Suspended Particulate Matter Consentration in Poyang Lake. Remote Sensing, 2017, Vol. 9, No. 761, pp. 1 – 19.
  • Xu, H.. 2006. Modification of Normalized Difference Water Index (NDWI) to Enhance Open Water Features in Remotely Sensed Imagery. International Journal of Remote Sensing, 27 (14), pp. 3025–3033.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *