“Geospatial Benchmarking”

Sejujurnya kami kurang tahu, apakah penggunaan istilah “Geospatial Benchmarking” dalam tulisan ini sudah tepat atau justru keluar konteks. Tetapi setidaknya apa yang akan kami ulas dalam tulisan ini kira-kira seputar “Geospatial Benchmarking”.

Ceritanya seperti ini, kami sebagai institusi yang bertanggung jawab di bidang informasi geospasial di daerah, tentu saja harus tanggap dengan segala isu yang terkait dengan informasi geospasial. Hal ini selaras dengan misi dan tujuan didirikannya PPIDS ULM.

Salah satu isu tersebut adalah bencana alam. Khusus untuk bencana alam yang sering terjadi di daerah kami (Kalimantan), yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kami sudah pernah melakukan riset, publikasi karya ilmiah, dan publikasi informasi geospasial karhutla. Bahkan ke depannya kami berencana untuk melakukan training pemanfaatan teknologi PJSIG untuk mitigasi bencana karhutla.

Akan tetapi, khusus untuk bencana geologi, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, dan sebagainya, kami belum bisa terlibat. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan teknologi, khususnya teknologi perangkat keras komputer. Akan tetapi, sekitar sebulan yang lalu kami mencoba untuk mengatasi keterbatasan teknologi ini. Yaitu dengan mengadakan sebuah mobile workstation, yang kami nilai cukup mampu untuk sekedar terlibat dalam penyediaan informasi geospasial terkait bencana alam geologi, seperti gempa bumi. Atau sekedar mengamati deformasi lahan yang rutin terjadi akibat perkembangan wilayah.

Mobile workstation yang kami maksud adalah MSI WE63 8SJ. Tanpa bermaksud mempromosikan produk tertentu, selain harganya yang cukup murah (untuk ukuran professional mobile workstation), alasan kami melirik workstation ini adalah kartu grafisnya, NVidia Quadro P2000 yang memiliki sertifikat Independent Software Vendor (ISV), diantaranya adalah dari ESRI dan ERDAS (https://www.nvidia.com/object/quadro-certified-drivers.html#page=partnerSelected).

Mobile workstation MSI WE63 8SJ ini memiliki spesifikasi perangkat keras bawaan sebagai berikut:

  • Prosesor: Intel Core i7-8750H (Hexacore/12 Threads)
  • Memori: DDR4-2666 MHz 8 GB (Samsung)
  • Kartu Grafis: Intel (R) UHD Graphics 630/NVidia Quadro P2000
  • SSD: 128 GB (Kingston)
  • HDD: 1 TB (Seagate Barracuda 7200 RPM)
  • Layar: 15,6 Inch Full HD TN Panel

Untuk mengetahui performa bawaannya, kami melakukan benchmarking mobile workstation tersebut menggunakan software PassMark PerformanceTest v9.0 (https://www.passmark.com/). Dan hasilnya adalah seperti gambar di bawah:

Pre-upgrade Benchmarking Result

Karena kami merasa bahwa spesifikasi bawaan di atas belum cukup untuk melakukan analisis yang berat, seperti interferometri citra SAR, maka kami memutuskan untuk mengupgrade beberapa perangkat keras di dalamnya. Yaitu memori, SSD, dan harddisk. Sehingga spesifikasinya menjadi:

  • Prosesor: Intel Core i7-8750H (Hexacore/12 Threads)
  • Memori: DDR4-2666 MHz 32 GB (Corsair Vengeance)
  • Kartu Grafis: Intel (R) UHD Graphics 630/NVidia Quadro P2000
  • SSD: 512 GB (Samsung 970 Pro NVMe M.2)
  • HDD: 2 TB (Seagate Firecuda SSHD 7200 RPM)
  • Layar: 15,6 Inch Full HD TN Panel

Selanjutnya, setelah workstation diupgrade kami melakukan benchmarking lagi menggunakan PassMark PerformanceTest v9.0. Dan hasilnya adalah seperti gambar di bawah:

Post-upgrade Benchmarking Result

Kami tidak begitu mengerti dalam menterjemahkan hasil dari benchmarking tersebut. Yang pasti dari datanya terlihat jelas bahwa ada kenaikan rating setelah beberapa perangkat kerasnya diupgrade.

Terdapat banyak sekali software untuk keperluan benchmarking komputer. Seperti PassMark PerformanceTest, CineBench, NovaBench, FuturMark Suite, dan sebagainya. Software-software benchmarking ini lebih diarahkan untuk menguji komputer gaming. Kami belum menemukan software khusus yang mampu melakukan benchmarking komputer untuk keperluan khusus pengolahan informasi geospasial (kalau misalnya software seperti itu ada, mohon beri komentar di bawah). Proses benchmarking komputer untuk keperluan khusus pengolahan informasi geospasial inilah yang kami sebut dengan istilah “geospatial benchmarking”.

Pada akhirnya, kami melakukan sendiri “geospatial benchmarking” tersebut dengan cara kami sendiri. Yaitu melakukan salah satu pemrosesan informasi geospasial yang cukup berat, yakni interferometri citra SAR. Tentu saja dengan menggunakan mobile workstation yang sudah kami upgrade tersebut.

Dalam “benchmarking” ini, kami menggunakan studi kasus bencana gempa bumi, yang terjadi di Lombok pada tanggal 5 Agustus 2018. Kami bermaksud ingin mengukur deformasi permukaan lahan akibat gempa, menggunakan metode interferometri.

Software yang digunakan adalah ESA Sentinel-1 Toolbox (S1TBX), yang dieksekusi di dalam software ESA SNAP 6.0. Citra SAR yang digunakan adalah Citra ESA Sentinel-1A perekaman 30 Juli 2018 (GMT) atau 31 Juli 2018 waktu Indonesia, dan Citra ESA Sentinel-1B perekaman 5 Agustus 2018 (GMT) atau 6 Agustus 2018 waktu Indonesia. Hasil “benchmarking”-nya dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah:

Interferometry Process

Proses interferometri sampai dengan debursting untuk satu sub swath Citra Sentinel-1 memakan waktu kira-kira 35 menit. Tentu saja hal ini tergantung dari bentuk wilayah, sehingga jika diuji di daerah lain hasilnya dapat bervariasi.

ESA SNAP Memory Consumption during Interferometry

Selama proses interferometri, software ESA SNAP mengkonsumsi lebih dari 12 GB memori, dan lebih dari 50% CPU workstation kami yang hexacore/12 threads. Tentu saja, 12 GB memori ini hanya konsumsi ESA SNAP. Sementara total konsumsi memori seluruh aplikasi workstation, termasuk sistem operasi Microsoft Windows 10 Home yang kami gunakan, dapat dilihat pada gambar berikut:

Total Workstation Memory Consumption during Interferometry

Selama proses interferometri, ternyata total CPU yang digunakan oleh workstation lebih dari 60%, dan total memori yang dikonsumsi oleh workstation lebih dari 15 GB. Hal ini dapat menjadi pedoman bagi kita, bahwa untuk melakukan proses interferometri satu sub swath Citra Sentinel-1, diperlukan memori komputer sekurang-kurangnya 16 GB. Beberapa literatur sudah ada juga yang menyebutkan demikian.

Untuk memenuhi satu Pulau Lombok, diperlukan dua sub swath Citra Sentinel-1 (IW1 dan IW2). Sehingga di dalam proses ini kami melakukan dua kali interferometri. Dengan waktu eksekusi yang mirip untuk setiap sub swath, yaitu sekitar 35 menit. Setelah selesai proses interferometri hingga debursting untuk kedua sub swath, kami melakukan proses merging kedua sub swath, dan sub setting Citra Sentinel-1 untuk wilayah Pulau Lombok saja. Sehingga proses-proses selanjutnya tidak lagi dalam satu sub swath, melainkan satu Pulau Lombok.

Semua parameter dalam pemrosesan interferometri yang kami lakukan menggunakan setting default, kecuali Multilooking Number of Range Looks yang kami setting 8, Goldstein Phase Filtering yang FFT Size-nya kami pilih 128, dan Row/Column Overlap keduanya disetting 0 dalam Snaphu Export. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses Phase Unwrapping.

Phase Unwrapping Process

Proses Phase Unwrapping berjalan sekitar 8 menit, dengan mengkonsumsi CPU kurang dari 20% dan memori kurang dari 500 MB.

Total keseluruhan proses, dari sub swath splitting hingga phase to displacement, diperkirakan memakan waktu lebih kurang 80 menit. Hasil akhirnya dapat dilihat pada peta berikut:

Lombok Displacement Map

Sebagai newbie dalam SAR Processing, kami kurang tahu apakah waktu sekitar 80 menit-an itu normal atau tidak, untuk pemrosesan Citra Sentinel-1 seukuran Pulau Lombok (2 sub swath). Yang pasti kami sudah mencoba beberapa kali proses yang sama untuk wilayah yang sama, waktunya kurang lebih juga sama.

Demikian informasi yang dapat kami berikan. Segala penyebutan merk dagang dalam tulisan ini hanya bertujuan untuk informasi saintifik, tanpa bermaksud mempromosikan merk tertentu. Semoga tulisan ini dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak terkait.

Tinggalkan Balasan ke dila Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *