Satelit-satelit Resolusi Sub-Meter: “Para Pengintai” dari Ruang Angkasa

Peluncuran satelit penginderaan jauh generasi terbaru, GeoEye-1 pada 6 September 2008 dari Vandenburg Air Force Base, California, menuai kontroversi. Khususnya dari negara asalnya sendiri, Amerika Serikat (AS). Pasalnya, citra (image) yang dihasilkan oleh sensor satelit komersial ini memiliki resolusi spasial 0,41 meter (41 cm). Sementara, regulasi negara AS tidak mengizinkan publikasi data spasial dengan resolusi di bawah 50 cm, atas dasar pertimbangan keamanan negara AS tentunya. Itu sebabnya, publik di luar negara AS (kecuali negara sekutunya), jangan terlalu berharap untuk bisa menikmati kecanggihan citra dengan resolusi spasial di bawah setengah meter tersebut. Lalu apakah negara ketiga seperti Indonesia tidak bisa membeli citra GeoEye-1 tersebut? Tentu saja bisa, tetapi setelah resolusi spasialnya dirubah menjadi 50 cm oleh pihak GeoEye. Ketentuan teknis ini bisa dilihat pada website resmi GeoEye: http://www.geoeye.com.

Karena kemampuannya dalam menghasilkan citra pankromatik*) dengan resolusi spasial di bawah 50 cm, GeoEye-1 mengukuhkan diri sebagai satu-satunya satelit komersial saat ini yang tergolong memiliki resolusi spasial sub-half-meter. Tidak kalah mengejutkannya lagi, GeoEye (perusahaan pemilik satelit GeoEye-1) rencananya akan meluncurkan GeoEye-2 pada tahun 2011 (bisa jadi ditunda hingga 2012). GeoEye-2 memiliki sensor dengan kemampuan menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi spasial 0,25 meter (25 cm atau sekitar 9,75 inch). Dapat dibayangkan, GeoEye-2 sudah mampu “melirik” objek yang ukurannya tak lebih dari panjang penggaris yang biasa digunakan anak sekolahan (30 cm).

Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil objek di permukaan bumi yang masih bisa dibedakan/dilihat oleh sensor satelit. Pada citra digital, ukuran terkecil ini akan diterjemahkan menjadi pixel (elemen terkecil penyusun gambar). Resolusi spasial 1 meter, berarti 1 pixel pada citra/gambar mewakili daerah dengan luasan 1 meter x 1 meter di lapangan. Satelit-satelit komersial lainnya yang mampu menghasilkan citra dengan resolusi spasial mendekati GeoEye-1 adalah QuickBird dan WorldView-1. Dua satelit terakhir yang disebut masih tergolong satelit dengan resolusi sub-meter (resolusi spasial di bawah 1 meter).

QuickBird

Ketika pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001, satelit milik DigitalGlobeTM ini mengklaim diri sebagai “The World’s Highest Resolution Commercial Satellite”. Tentunya klaim QuickBird ini menjadi tidak berlaku lagi saat ini. Karena dua satelit yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya telah mengalahkan kemampuan QuickBird. Sensor pankromatik satelit QuickBird memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra dengan resolusi spasial 0,61 meter (61 cm). Penggunaan citra digital QuickBird sebenarnya sudah cukup populer di Indonesia. Di samping itu juga telah banyak institusi yang bertindak sebagai distributor citra QuickBird untuk wilayah Indonesia.

Dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1999, Space Imaging Corp. sebenarnya telah meluncurkan satelit penginderaan jauh dengan resolusi spasial tertinggi saat itu. Yaitu IKONOS dengan resolusi spasial 1 meter. Kehadiran citra IKONOS pada waktu itu praktis telah menggantikan kedudukan foto udara berskala besar, yang umum digunakan untuk analisis data spasial berskala detail. Akan tetapi, launching QuickBird pada tahun 2001 telah mengalahkan kehebatan IKONOS dalam hal kemampuan menghasilkan citra dengan kenampakan objek detail.

Selain mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi detail, QuickBird juga dilengkapi dengan 4 band (saluran) multispektral dengan resolusi spasial 2,44 meter. Saluran multispektral ini sebenarnya adalah saluran pankromatik (biru, hijau, merah) yang ditambah dengan spektrum inframerah dekat (near infrared). Spektrum inframerah dekat ini umumnya sering digunakan untuk analisis objek vegetasi. Ini dikarenakan pada spektrum inframerah dekat, objek vegetasi memantulkan gelombang elektromagnetik (sinar matahari) dengan intensitas yang sangat besar, sehingga kenampakan vegetasi terlihat sangat cerah pada citra saluran inframerah dekat.

Di samping keunggulannya dalam menghasilkan citra dengan resolusi detail, QuickBird juga dilengkapi dengan sensor yang mampu menghasilkan citra stereoskopis. Seperti halnya foto udara stereoskopis, citra stereoskopis QuickBird juga digunakan untuk ekstraksi data DEM (Digital Elevation Model/Model Ketinggian Digital). DEM merupakan simulasi digital bentuk 3-Dimensi permukaan bumi. DEM ini biasanya digunakan untuk analisis topografi, seperti ketinggian dan kelerengan.

WorldView-1

Satelit milik DigitalGlobeTM ini merupakan kelanjutan dari QuickBird. WorldView-1 diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base, California, pada tanggal 18 September 2007. Satelit ini “menggantung” di ketinggian orbit 496 km. Dengan ketersediaan bahan bakar berikut desain yang dimilikinya, WorldView-1 diperkirakan akan mampu bertahan di orbit dan melakukan perekaman data permukaan bumi selama 7,25 tahun.

Dalam satu hari, WorldView-1 mampu “menyapu” permukaan bumi seluas 750.000 kilometer persegi. Dan akan mengunjungi kembali tempat yang sama (revisit frequency) setiap 1,7 hari. Sehingga satelit ini mampu mengumpulkan data permukaan bumi dengan jumlah besar dalam waktu yang sangat cepat. Hal ini tentunya didukung oleh kecepatan orbitalnya yang tinggi, kapasitas penyimpanan (onboard storage)-nya yang sangat besar (2.199 Gigabits), dan kecepatan pengiriman data ke servernya di bumi (data downlink) yang tinggi (800 Mbps).

WorldView-1 lebih unggul dari pendahulunya (QuickBird) dalam hal resolusi spasial. Sensor yang dibawa WorldView-1 mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi spasial 0,5 meter (50 cm). Namun sayangnya, WorldView-1 hanya membawa sensor pankromatik dan tidak membawa sensor multispektral. Sehingga citra WorldView-1 lebih cocok untuk analisis/interpretasi visual dari pada analisis digital. Metode interpretasi visual seperti ini umum digunakan dalam studi kekotaan (urban) dan analisis-analisis data spasial dalam skala detail lainnya. Kekurangan WorldView-1 dalam hal resolusi spektral (jumlah saluran), tampaknya akan diatasi oleh DigitalGlobe dengan meluncurkan satelit penerusnya, yakni WorldView-2 di penghujung tahun 2009 ini.

Seperti halnya QuickBird, WorldView-1 juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra stereoskopis untuk ekstraksi rupa bumi 3-Dimensi. Selain itu, dari segi keakuratan posisi geometrik, citra yang dihasilkan WorldView-1 memiliki ketepatan posisi yang sangat tinggi terhadap objek aslinya di permukaan bumi. Hal ini membuat WorldView-1 juga sangat sesuai digunakan untuk analisis yang memerlukan presisi sangat tinggi, seperti penentuan dan penegasan batas wilayah. Saat ini, Indonesia sudah mulai melirik penggunaan citra WorldView-1. Beberapa ahli dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) telah melakukan berbagai pengujian pada citra satelit sub-meter ini. Perlu diketahui, citra WorldView-1 ternyata dijual dengan harga sama dengan citra QuickBird, yaitu sekitar US $ 22 per kilometer persegi untuk perekaman baru, atau US $ 18 untuk data arsip (citra yang sudah pernah dijual sebelumnya).

GeoEye-1

GeoEye-1 launching pada tanggal 6 September 2008. Peluncuran satelit GeoEye-1 ini disponsori oleh Google, itulah sebabnya, Google Earth sekarang sudah menggunakan citra GeoEye-1 pada kenampakan detailnya, meski resolusi spasialnya telah diturunkan menjadi 50 cm. Seperti dijelaskan di muka, GeoEye-1 mampu menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi 0,41 meter, selain itu satelit ini juga dilengkapi sensor multispektral (sejumlah 4 saluran) dengan resolusi spasial 1,65 meter. Satelit penginderaan jauh ini dalam sehari bisa melakukan scanning (peliputan wilayah) sebesar 700.000 kilometer persegi untuk saluran pankromatik dan hingga 350.000 kilometer persegi untuk pan-sharpened multispectral. Kemampuan ini tentunya sangat ideal untuk proyek pemetaan dengan skala besar dan detail.

GeoEye-1 akan mengunjungi kembali obyek yang sama di Bumi dalam 3 hari atau lebih cepat dari itu. GeoEye-1 mengorbit 12 hingga 13 orbit per hari, terbang dengan ketinggian 681 kilometer dan kecepatan orbit 7,5 km/detik. Dengan melihat kecepatan orbit, resolusi temporal (waktu kunjung kembali pada tempat yang sama) berikut resolusi spasialnya, tentunya GeoEye-1 mampu menyajikan data spasial yang sangat detail dan up to date. Sayangnya, seperti telah dijelaskan di depan, AS telah “mengeluarkan fatwa” bahwa citra GeoEye-1 yang memiliki resolusi 0,41 m tersebut “haram” untuk “dikonsumsi” oleh negara ketiga. Terkecuali jika resolusi spasialnya telah diturunkan menjadi 0,50 m.

Gambar contoh citra GeoEye-1 (resolusi spasial 50 cm)

GeoEye-1 juga memiliki kemampuan stereoskopis untuk merekam bentuk 3-Dimensi permukaan bumi. Karena resolusi spasialnya yang sangat tinggi, tentunya data topografi (DEM) yang dihasilkannya juga sangat detail. Hal ini membuat GeoEye-1 sangat sesuai digunakan dalam aplikasi yang memerlukan data topografi detail, seperti analisis dan simulasi banjir (flood plain analysis), khususnya banjir di wilayah permukiman/perkotaan, yang idealnya memerlukan data topografi yang setara dengan peta kontur interval 0,5 meter.

GeoEye-1 merupakan satelit penginderaan jauh dengan teknologi tertinggi yang mengorbit saat ini. GeoEye-1 bukan lagi sekedar mampu menangkap objek-objek bentukan tangan manusia, seperti bangunan, tetapi GeoEye-1 telah mampu melihat manusianya itu sendiri. Situs resmi GeoEye-1 menulis, GeoEye-1 telah merekam kerumunan massa/parade manusia yang bergerak di sekitar Lincoln Memorial, Washington D.C., ketika perayaan pelantikan Presiden Barrack Obama pada tanggal 20 Januari 2009 (21 Januari 2009 waktu Indonesia). Citra ini ditampilkan pada situs resmi GeoEye-1, http://www.geoeye.com.

Baik dari segi resolusi spasial maupun resolusi spektral (jumlah saluran), tentunya GeoEye-1 merupakan satelit yang paling unggul di atas satelit-satelit penginderaan jauh sub-meter lainnya. Setidaknya untuk saat ini, tidak salah jika GeoEye-1 mengklaim dirinya sebagai “the world’s highest resolution commercial Earth-imaging satellite”.

Next Sub-Meter Satellites…

Beberapa kandidat satelit sub-meter (resolusi spasial di bawah satu meter) generasi berikutnya, bahkan dikategorikan sub-half-meter (resolusi spasial di bawah setengah meter), saat ini tengah menunggu untuk launching ke orbit. Dua di antaranya adalah WorldView-2 dan GeoEye-2. WorldView-2 diperkirakan akan diluncurkan pada bulan September tahun 2009 ini. Sementara GeoEye-2 masih menunggu kepastian, mungkin akan menuju orbit pada tahun 2011 atau tertunda hingga tahun 2012. WorldView-2 rencananya akan membawa sensor pankromatik dengan kemampuan menghasilkan citra beresolusi spasial 0,46 meter (46 cm). Dan satelit ini rencananya akan membawa sensor multispektral untuk menghasilkan citra 8 (delapan) saluran. Sementara, seperti telah disebutkan di muka, GeoEye-2 akan memiliki sensor pankromatik yang mampu menghasilkan citra beresolusi 0,25 meter (25 cm), atau kurang dari 1 feet.

Gambar model satelit WorldView-2

Perang urat syaraf dalam pengembangan satelit penginderaan jauh sepertinya tak akan pernah berhenti. Perlombaan dalam membuat sensor satelit yang lebih detail seolah tak akan menyisakan sejengkal tempat pun di permukaan bumi yang tak bisa dilihat dari ruang angkasa. Di luar AS, negara maju lainnya tentunya juga tak mau ketinggalan dalam pengembangan teknologi satelit sub-meter. Tercatat sejak 15 Juni 2006, Rusia telah mengorbitkan satelit penginderaan jauhnya dengan nama Resurs DK-1. Resurs DK-1 memiliki resolusi spasial 0,8 meter (80 cm) untuk citra pankromatik.

Beberapa negara lainnya, bahkan yang bukan tergolong negara maju, juga ikut berlomba dalam pengembangan satelit yang memiliki resolusi spasial detail (meski bukan satelit sub-meter). Saat ini tercatat, India telah memiliki IRS Cartosat 1 & 2 yang memiliki resolusi spasial 1 meter. Korea Selatan telah memiliki KOMPSAT-2 yang juga memiliki resolusi spasial 1 meter. Israel telah memiliki EROS A1 & B1 dengan resolusi spasial 1,8 meter. Taiwan telah mengorbitkan RocSat2 (Formosat) dengan resolusi spasial 2 meter. Perancis telah memiliki SPOT-5 dengan resolusi spasial 2,5 meter. Dan Jepang yang juga telah memiliki satelit penginderaan jauh sub-meter dengan nama IGS-02.

Sebuah kabar terbaru berasal dari “tetangga” terdekat kita, yakni Malaysia. Pada tanggal 14 Juli 2009 kemaren,  Malaysia meluncurkan satelit penginderaan jauh dengan resolusi spasial tinggi, yaitu RazakSAT. RazakSAT memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 meter. Meski bukan tergolong satelit ­sub-meter, keberadaan RazakSAT ini sudah cukup menjadi kejutan bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya, khususnya Indonesia. Sebagai negara yang secara geografis berdampingan dengan Indonesia, Malaysia sudah memiliki satelit berteknologi tinggi sekelas negara adidaya, seperti AS.

Bagaimana dengan negara kita sendiri? Tentunya juga tak mau ketinggalan. Dua tahun sebelum era RazakSAT-nya Malaysia, tepatnya pada tanggal 1 Januari 2007, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah meluncurkan satelit penginderaan jauh pertamanya, LAPAN-TUBSAT. LAPAN-TUBSAT merupakan proyek kerjasama dengan pemerintah Jerman, sementara kendaraan (roket) peluncurnya merupakan hasil kerjasama dengan India. LAPAN-TUBSAT membawa sensor dengan kemampuan menghasilkan citra beresolusi spasial 5 meter. Meski belum secanggih RazakSAT, tentunya berbagai usaha penelitian dan pengembangan masih akan terus dilakukan LAPAN untuk menghasilkan satelit-satelit canggih di masa depan. Saat ini LAPAN tengah menyiapkan satelit LAPAN-A2, yang merupakan kelanjutan dari LAPAN-TUBSAT. LAPAN-A2 nantinya diharapkan akan selesai dan siap diorbitkan pada tahun 2010.

*) Pankromatik = spektrum elektromagnetik yang memiliki rentang panjang gelombang 450 – 900 nanometer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *