Rencana Pelatihan Mitigasi Bencana Karhutla Berbasis Teknologi PJSIG 2019

Latar Belakang

Tahun 2014 dan tahun 2015, sepertinya merupakan ujian yang cukup berat bagi negeri kita, tidak terkecuali Provinsi Kalimantan Selatan. Sebab dua tahun itu kita dilanda kemarau panjang berturut-turut. Dan pada tahun 2015 ini kemarau panjang yang terjadi justru lebih parah dari tahun sebelumnya. Kondisi tahun 2015 seakan-akan mengingatkan kita pada kondisi kemarau panjang pada tahun 1997. Memang antara kemarau panjang tahun 1997 dan tahun 2015, ditengarai penyebabnya sama, yaitu EL Nino. El Nino merupakan suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature) di Samudera Pasifik sekitar ekuator khususnya di bagian Tengah dan Timur (sekitar pantai Peru). Peningkatan suhu permukaan laut ini secara signifikan meningkatkan suhu atmosfir bumi. Sehingga terjadi semacam badai udara panas yang melandai daerah-daerah tropis, termasuk Indonesia.

Sebagaimana kemarau panjang pada umumnya, selalu diikuti dengan kebakaran hutan dan lahan yang cukup parah, termasuk kebakaran daerah permukiman penduduk. Dari Januari 2015 sampai dengan Oktober 2015, luas kebakaran hutan Provinsi Kalimantan Selatan menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah 185,70 hektar. Ini belum terhitung kebakaran hutan dan lahan di luar hutan atau kawasan hutan. Sebab kondisi lapangan justru memperlihatkan bahwa kebakaran hutan dan lahan terbesar, khususnya untuk wilayah Kalimantan Selatan, justru terjadi pada lahan di luar hutan, seperti persawahan, perkebunan, semak belukar, dan sebagainya. Data dari Citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang dipublikasikan NASA (http://earthobservatory.nasa.gov) pada tahun 2009 dan 2015 menunjukkan lokasi kebaran lahan di wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar terjadi pada dataran rendah (lowlands), yang pada umumnya merupakan kawasan budidaya.

Gambar 1. Subset Citra MODIS wilayah Kalimantan bagian Selatan

(Sumber: http://earthobservatory.nasa.gov)

Berbagai informasi dari media, baik cetak, televisi, radio, maupun online, semuanya memberitakan bahwa kejadian kebakaran yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian parah. Bahkan intensitas kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan ilmuwan NASA meyakini, situasi tahun ini serupa dengan tahun 1997 yang tercatat sebagai bencana kabut asap paling parah dalam sejarah. “Kondisi di Singapura dan tenggara Sumatera serupa dengan 1997,” kata Robert Field, ilmuwan Columbia University yang juga bekerja untuk NASA. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo, mengamini perkiraan NASA. “Saya yakin dampak kebakaran hutan tahun ini akan sama seperti 1997, dalam hal kerugian finansial.” (http://www.dw.com).

Bahkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kecamatan Gambut pada Hari Kamis, tanggal 01 Oktober 2015, dinilai sebagai yang terbesar di Kalimantan Selatan, sehingga semua satuan gabungan pemadam kebakaran, Polri, dan TNI harus dikerahkan untuk memadamkan api.

Gambar 2. Asap kebakaran di Kecamatan Gambut yang tertangkap Citra Aqua MODIS pada Hari Kamis tanggal 01 Oktober 2015 (Sumber: http://earthdata.nasa.gov)

Intensitas kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terasa semakin meningkat dari tahun ke tahun, yang disertai dengan segala dampak negatifnya yang juga dirasakan semakin besar, menuntut berbagai pihak untuk terlibat aktif dalam usaha mitigasi atau meminimalisir dampak bencana kebakaran hutan dan lahan.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisir resiko kebakaran hutan dan lahan adalah dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (PJSIG). Dalam hal ini, teknologi PJSIG dapat menyediakan informasi spasial kejadian kebakaran hutan dan lahan, informasi spasial potensi atau tingkat kerawanan kejadian kebakaran, informasi spasial estimasi atau prediksi kejadian kebakaran, termasuk sampai pada perencanaan lokasi evakuasi jika terjadi kebakaran yang hebat.

Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial (PPIDS) Universitas Lambung Mangkurat, sebagai salah satu institusi yang berkompeten di bidan informasi spasial di bawah Universitas Lambung Mangkurat, sekaligus merupakan institusi kepanjangan dari Badan Informasi Geospasial (BIG) di daerah Kalimantan Selatan, merasa sangat perlu untuk memberikan sumbangsih berupa transfer teknologi PJSIG kepada pihak-pihak yang terkait dengan mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan, khususnya di daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Tujuan

Tujuan dari kegiatan pelatihan ini adalah untuk transfer teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, kepada pihak-pihak yang terkait langsung dengan atau memiliki kompetensi dalam mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan, tetapi belum menguasai teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan pelatihan ini adalah penguasaan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis oleh para pihak yang menangani atau terlibat langsung dengan mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan. Sehingga pihak-pihak ini dapat memanfaatkan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis secara efektif untuk usaha mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *